Ada babak baru dalam perjalanan ibadah umat Islam Indonesia. Setelah sekian lama perjalanan umrah identik dengan keberangkatan melalui biro travel resmi, kini pemerintah mengesahkan kebijakan baru: umrah mandiri.
Istilah mandiri di sini berarti, jamaah dapat menunaikan ibadah umrah tanpa harus melalui biro resmi, selama tetap memenuhi seluruh persyaratan yang ditetapkan pemerintah dan Kerajaan Arab Saudi.
📜 Legalitas dalam Undang-Undang Baru
Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang perubahan atas UU No. 8 Tahun 2019 mengenai penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
Dalam pasal 86 ayat (1) huruf b disebutkan:
“Perjalanan ibadah umrah dapat dilakukan secara mandiri.”
Artinya, negara kini secara resmi mengakui umrah mandiri sebagai bentuk ibadah yang sah, selama dilakukan sesuai ketentuan hukum dan administratif.
🧾 Syarat Umrah Mandiri
Untuk bisa berangkat secara mandiri, jamaah wajib memenuhi beberapa syarat penting:
- Paspor berlaku minimal enam bulan
- Tiket pulang-pergi
- Surat keterangan sehat
- Visa resmi
- Bukti pembelian layanan terverifikasi melalui Sistem Informasi Kementerian, yang terintegrasi dengan platform Nusuk milik Arab Saudi.
Sistem digital ini memastikan semua data jamaah tercatat dan terpantau, memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia selama beribadah di luar negeri.
🔒 Perlindungan dan Pengawasan Digital
Wakil Menteri Haji dan Umrah, Dahnil Anzar Simanjuntak, menjelaskan bahwa legalisasi ini merupakan bentuk perlindungan baru bagi jamaah.
“Seluruh data jamaah mandiri akan tercatat. Ini bukan kebebasan tanpa batas, tapi kebijakan yang menjamin keamanan dan akuntabilitas,” ujarnya.
Pemerintah juga tengah menyiapkan sistem nasional terintegrasi dengan Nusuk Umrah, agar semua layanan – mulai dari visa, hotel, hingga transportasi – bisa dikelola secara digital dan transparan.
⚠️ Batasan dan Sanksi
Meski disebut mandiri, jamaah tetap tidak boleh mengelola keberangkatan secara kolektif atau menjadi “biro perjalanan ilegal.”
UU menetapkan sanksi tegas: siapa pun yang menghimpun, memberangkatkan, atau mengambil dana jamaah tanpa izin resmi bisa dipidana hingga 6 tahun penjara dan denda Rp2 miliar.
Umrah mandiri hanya boleh dilakukan perorangan, bukan melalui kelompok atau lembaga tanpa izin.
💬 Pro dan Kontra di Lapangan
Kebijakan ini disambut beragam. Sebagian masyarakat menilai umrah mandiri sebagai langkah positif — membuka jalan bagi umat yang ingin beribadah dengan biaya lebih ringan.
Namun, ada pula pihak yang khawatir jamaah tanpa pendamping bisa mengalami kesulitan di lapangan. Beberapa asosiasi travel umrah juga menilai regulasi baru ini perlu diawasi ketat agar tidak dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab.
💻 Umrah di Era Digital
Kini, ibadah umrah tidak lagi terlepas dari teknologi. Mulai dari visa elektronik, pemesanan hotel lewat aplikasi Nusuk, hingga pelaporan layanan secara digital, semuanya menjadi bagian dari ekosistem baru umrah modern.
Seorang jamaah yang telah mencoba berangkat mandiri bahkan mengaku bisa menghemat hingga 50% biaya, asalkan mau belajar dan merencanakan perjalanan dengan baik.
“Yang penting niatnya tulus, belajar, dan siap menyesuaikan diri dengan sistem digital. Semua bisa dilakukan sendiri,” ujarnya dalam unggahan di platform X (Twitter).
🌙 Refleksi: Umrah Mandiri dan Kesadaran Ibadah
Umrah mandiri bukan hanya tentang berangkat tanpa travel, tapi tentang kedewasaan beribadah di era teknologi.
Ia menuntut literasi, kesiapan mental, dan tanggung jawab pribadi yang tinggi.
Karena sejatinya, baik berangkat lewat travel resmi maupun mandiri, tujuannya sama — menyapa Allah di Tanah Suci dan menunaikan rindu kepada Rasulullah ﷺ.
Kemandirian sejati bukan hanya soal keberanian membeli tiket, tapi tentang kesungguhan menjaga niat dan keikhlasan di tengah kemudahan digital.
✨ Kesimpulan:
Legalitas umrah mandiri menandai babak baru bagi umat Islam Indonesia. Transformasi ini membawa peluang sekaligus tantangan — menjadikan ibadah bukan sekadar perjalanan fisik, tapi juga refleksi spiritual di zaman digital.



